ad1

Permainan Tradisional Damdas

Permainan Tradisional Damdas

Damdas merupakan sebutan bagi salah satu jenis permainan tradisional Betawi dan dikenal pula dengan sebutan dam-daman di daerah Jawa Tengah, utamanya Yogyakarta dan Solo. Cara bermain damdas mirip seperti permainan catur, namun dengan peralatan dan cara yang jauh lebih sederhana.

Seperti halnya permainan catur, damdas umumnya dimainkan oleh dua orang, bisa laki-laki atau perempuan, dengan memanfaatkan dua jenis pion yang berbeda serta papan berpetak sebagai sarana bermainnya. Namun, tidak seperti catur yang memiliki pion dengan bentuk dan langkah yang berbeda, pion pada permainan damdas umumnya hanya berupa dua jenis kerikil, batu, atau biji-bijian dengan warna serta bentuk berbeda, sehingga dapat dibedakan antara pion pemain yang satu dengan lawannya.

Terdapat dua jenis permainan damdas, yaitu damdas tiga batu dan damdas 16 batu. Penamaan jenis permainan damdas ini sesuai dengan jumlah batu yang digunakan. Sebab, pada damdas tiga batu, jumlah pion yang digunakan adalah 3 buah pion pada masing-masing pemain; sedangkan damdas 16 batu menggunakan 16 buah pion untuk masing-masing pemainnya. Cara bermain dan jenis papan yang digunakan juga berbeda untuk masing-masing jenis.

Damdas Tiga Batu

Pada damdas tiga batu, bentuk petak permainan Damdas 3 batu dapat dilihat pada Gambar (1).



Gambar (1), Petak Permainan Damdas 3 Batu 

(Sumber: Karyati et.al.)

Cara bermainnya sangat mudah, yaitu:

Dua orang pemain menyusun pion masing-masing pada petak permainan damdas seperti yang dapat dilihat pada Gambar (1a).
Para pemain menentukan giliran bermain dengan suit. Pemain yang menang suit, dapat melangkah lebih dahulu.
Pemain menggerakkan pion miliknya selangkah demi selangkah maju, mundur, atau serong dari satu titik ke titik yang lain searah dengan garis yang ada pada petak permainan Damdas.
Pion terus digeser untuk mencari jalan ke area gunungan segitiga milik lawan. Pemain dapat saling menghalangi pion lawan untuk sampai ke gunungan segitiga miliknya seperti pada Gambar (1b).
Pemain yang menang adalah pemain yang dapat lebih dahulu menggerakkan ketiga pion miliknya ke gunungan lawan.
Damdas 16 Batu

Lain halnya dengan damdas 16 batu, meski bentuk petaknya mirip dengan damdas tiga batu, namun petak damdas yang satu ini memiliki garis petak yang lebih banyak seperti diilustrasikan pada Gambar (2).



Cara bermain damdas 16 batu sebagai berikut:

Pemain terdiri atas 2 orang dan urutan bermain ditentukan melalui suit.
Kedua pemain meletakkan ke-16 pion masing-masing pada petak yang berbentuk persegi dan segitiga.
Pion pertama harus digerakkan maju kedepan sesuai dengan garis pada petak permainan damdas. Pion selanjutnya dapat digerakkan maju, ke samping, atau serong selangkah demi selangkah sesuai garis pada petak permainan. Pion tidak boleh digerakkan mundur.
Para pemain harus berusaha "memakan" pion lawan dengan bergerak melangkahi pion lawan. Pemain dapat memakan lebih dari satu pion lawan selama pion dapat bergerak melangkahi pion lawan. Dalam hal ini, pion dapat digerakkan mundur (lihat gambar (3)).
Apabila ada kesempatan namun lawan lupa/tidak mau memakan pion kita, maka kita dapat meneriakkan kata DAM dan lawan secara otomatis terkena pinalti, dimana kita dapat mengambil 3 buah pion lawan secara bebas.
Lawan yang terkena pinalti akan kehilangan gilirannya sehingga kita dapat meneruskan permainan.
Pion yang dapat bersarang pada daerah segitiga lawan akan menjadi pion sakti yang dapat bergerak ke manapun sesuai garis.
Apabila pion permainan yang dimiliki pemain tersisa 3 buah, maka ketiga pion tersebut juga merupakan pion sakti yang dapat bergerak bebas ke manapun sesuai garis.
Pemain yang menang adalah pemain yang dapat memakan habis pion lawan dan dikatakan seri apabila masing-masing pemain sama-sama menyisakan 1 buah pion.


Bagaimana, tertarik memainkan permainan tradisional yang satu ini? Yuk, ikut melestarikan permainan tradisional Indonesia! Lupakan Gadgetmu, Ayo Main di Luar!


Referensi:

Karyati T, Mulyani S, Rachmat, Junarti, Rohmawati, Sunarto. Aku Cinta Jakarta: Pendidikan Lingkungan dan Budaya Jakarta untuk Sekolah Dasar Kelas 3. Ganeca Exact (diakses dari https://books.google.co.id/books?id=6gegV2L-2jUC&pg=PT85&lpg=PT85&dq=damdas&source=bl&ots=LeAr1ggOf1&sig=ACfU3U3wfxEz4e7yqujeAprHSQse-MdMmQ&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwi5x_nv_czlAhVFVH0KHd52Ak8Q6AEwEHoECAcQAQ#v=onepage&q=damdas&f=false)
Rohmawati., Rachmat., Sunarto., Mulyani, S., Junarti., Karyati, T. Aku Cinta Jakarta: Pendidikan Lingkungan dan Budaya Jakarta untuk Sekolah Dasar Kelas 4. Ganeca Exact (diakses dari https://books.google.co.id/books?id=wWVAxIm4PqsC&pg=PT36&lpg=PT36&dq=damdas&source=bl&ots=ym9aBn4nzd&sig=ACfU3U3FcIs0oYeEePcKe-zSgDZ0AJ2KIg&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwi5x_nv_czlAhVFVH0KHd52Ak8Q6AEwEXoECAgQAQ#v=onepage&q=damdas&f=false)

Mengenal Budaya Jawa

Mengenal Budaya Jawa


Kebudayaan Jawa adalah salah satu kebudayaan di Asia yang paling kuno dan identik akan tradisi, perilaku, dan peralatan kuno. Kekayaan ini cukup nyata dari sejarah kebudayaan jawa yang berjalan terus menerus selama lebih dari seribu tahun di daerah-daerah tertentu di pulau jawa. Kebudayaan Jawa itu berasal dari beraneka ragam tradisi, kepercayaan dan cara hidup.

Bagi orang Jawa yang tinggal di Pulau Jawa, kebudayaan adalah sesuatu yang mereka anut sesuai dengan kondisi dan situasi lokal, sejarah, dan pengaruh-pengaruh luar. Jadi, walaupun kebanyakan orang Jawa akan mengidentifikasi dirinya sendiri dengan kebudayaan Jawa; aspek dari cara hidup mereka akan bervariasi menurut dimana mereka tinggal.

Kebudayaan Jawa sebagai salah satu wujud penghayatan orang Jawa dan pengungkapan penafsiran mereka atas realitas. Kebudayaan Jawa bersifat konstruktif, teoritis, dan filosofis. Nilai-nilai hidup adalah wujud abstrak kebudayaan yang menjadi pedoman bagi perilaku manusia. budaya Jawa pada umumnya mengutamakan keseimbangan, keselarasan, dan keserasian dalam kehidupan sehari-hari.

Budaya Jawa juga menjujung tinggi etika sopan santun, kesopanan, dan kesederhanaan. Kaitan antara nilai dengan sikap hidup disebut dengan mentalitas. Misalnya sabar, rela (dalam bahasa jawa disebut dengan legowo), dan nrima  (menerima atau terbuka), andhap asor (rendah hati), tlaten (tekun). Setiap orang Jawa dengan sendirinya akan menerapkan etika sopan santun yang telah diajarkan oleh orang tuanya sejak ia masih kecil.

Budaya Jawa juga menghasilkan agama sendiri yaitu Kejawen. Kejawen berisikan tentang seni, budaya, tradisi, ritual, sikap serta filosofi orang-orang Jawa. Kejawen juga memiliki arti spiritualistis atau spiritualistis suku Jawa. Tetapi mayoritas orang Jawa sekarang menganut agama Islam dan sebagian kecil orang Jawa menganut agama Kristen atau Katolik. Dahulu orang Jawa menganut agama Hindu, Buddha, dan Kejawen. Bahkan orang Jawa ikut menyebarkan agama Hindu dan Buddha dengan sejumlah kerajaan Hindu-Buddha Jawa yang berperan. Orang Jawa juga ikut menyebarkan agama Islam dan Kristen atau Katolik di Indonesia. Orang Jawa termasuk unik karena menjadi satu satunya suku di Indonesia yang berperan penting dalam menyebarkan 5 agama besar.

Dengan demikian, kebudayaan Jawa tidak hanya dimilki oleh satu agama, satu kepercayaan tetapi kompleks. Dalam masa sekarang kebudayaan Jawa masih terpelihara dengan baik oleh masyarakat Jawa sendiri.

Walaupun mereka telah jauh merantau di luar Pulau Jawa, kebudayaan Jawa tidaklah dilupakan. Sebagai masyarakat Jawa dan Indonesia semua orang dapat belajar dari kebudayaan Jawa yang harus di hidupi sebagai warisan leluhur Indonesia.

Dari segi bahasa Bahasa Jawa pertama-tama ditulis dalam aksara turunan aksara Pallawa yang berasal dari India Selatan. Aksara ini yang menjadi cikal bakal aksara Jawa modern atau Hanacaraka yang masih dipakai sampai sekarang. Dengan berkembangnya agama Islam pada abad ke-15 dan ke-16, huruf Arab juga dipergunakan untuk menulis bahasa Jawa; huruf ini disebut dengan nama huruf pegon. Ketika bangsa Eropa menjajah Indonesia, termasuk Jawa, abjad Latin pun digunakan untuk menulis bahasa Jawa.

Untuk filosofinya orang jawa pada dasarnya memiliki banyak sekali filsafat hidup yang dijadikan sebagai pedoman bermasyarakat. Namun terdapat tujuh filosofis dasar yang setidak-tidaknya menggambarkan perilaku budaya suku Jawa, yaitu :


  • Urip iku urup, (hidup itu menyala), maknanya adalah bahwa hidup sebagai manusia haruslah memiliki manfaat bagi manusia lain dan lingkungan alam sekitar.
  • Ojo Keminter Mengko Keblinger, Ojo Cidro Mundak Ciloko, (jangan menjadi orang yang sombong dengan kepandaian dan jangan menyakiti orang agar tidak dicelakai), maknanya hidup haruslah rendah hati dan selalu sportif.
  • Ojo Ketungkul Marang Jenenge Kalenggahan, Kadunyan lan Kemareman, (jangan menjadi orang yang hanya mengejar jabatan, harta dan kenyamanan), maknanya jangan terlalu mengutamakan jabatan/pangkat, harta dan kenikmatan dunia.
  • Wong Jowo Kuwi Gampang Ditekak-tekuk, (orang jawa itu mudah untuk diarahkan), maknanya bahwa orang Jawa itu mudah untuk beradaptasi dengan berbagai situasi lingkungan.
  • Memayu Hayuning ing Bawana, Ambrasta dur Hangkara (membangun kebaikan dan mencegah kemungkaran), maknanya adalah hidup didunia harus banyak-banyak membangun atau memberi kebaikan dan memberantas sikap angkara murka.
  • Mangan ora mangan sing penting kumpul (kebersamaan harus diutamakan), maknanya adalah bahwa kebersamaan dan gotong royong itu lebih penting dari yang selainnya.
  • Nrimo Ing Pandum, (menerima pemberian dari yang kuasa), maknanya adalah harus selalu bersyukur terhadap apa yang sudah dimiliki dan diberikan oleh Tuhan. 


Maka dari itu juga orang Jawa dikenal sebagai masyarakat yang berbudaya. Sangat banyak sekali seni tari yang merupakan hasil olah cipta, rasa dan karsa masyarakat Jawa. Bahkan antara orang Jawa di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat, memiliki tarian khasnya masing-masing. Benang merah seni tari suku Jawa terletak pada tata tari yang luwes, kalem dan santun. Menggambarkan filosofis hidup suku Jawa yang cenderung menerima, selalu adaptif dengan segala situas dan kondisi serta mengutamakan tata krama.

*dari berbagai sumber

Ritual Barong Ider Bumi Masyarakat Osing Banyuwangi Sebagai Penangkal Bahaya

Ritual Barong Ider Bumi Masyarakat Osing Banyuwangi Sebagai Penangkal Bahaya


Dalam Tradisi Masyarakat Osing Banyuwangi, Jawa Timur ini memiliki karakteristik yang berbeda dengan masyarakat Jawa Timur pada umumnya. Salah satunya adalah terlihat dari sebuah upacara namanya barong ider bumi. Upacara ini rutin diadakan setiap tahun, pada hari kedua Bulan Syawal atau setelah hari raya idul fitri.

Upacara barong ider bumi merupakan ritual pengusir bahaya dan permohonan kesuburan kepada Sang Maha Kuasa. Selain itu, upacara ini dipercaya sebagai ritual pensucian diri dari segala kesalahan yang dilakukan selama setahun dan penyembuhan terhadap wabah penyakit. Tradisi ini telah berjalan selama puluhan tahun, salah satu sumber sejarah menyebutkan ritual ini pertama kali diselenggarakan sekitar tahun 1940-an.

Acara Barong Ider Bumi diisi oleh berbagai ritual dan kegiatan mulai dari ritual sembur othik-othik. Ritual ini dilakukan dengan cara merebutkan uang koin yang dicampur beras kuning serta bunga. 

Anak-anak berebut mencari uang yang terjatuh di tanah. Usai sembur othik-othik, seluruh warga mengarak tiga barong using yang diyakini bisa mengusir bencana.

Dalam upacara ini barong yang di arak untuk berkeliling desa. Barong merupakan tokoh mitologis yang berasal dari budaya Bali. Barong dianggap sebagai raja dari para arwah dan simbolisasi kebaikan. Pengarakan barong berkeliling desa dimaksudkan untuk mengusir kejahatan, hawa nafsu, dan keburukan yang menghalangi datangnya keberuntungan dan kemakmuran bagi segenap masyarakat desa.

Arak-arakan ritual Barong Ider Bumi diikuti berbagai lapisan masyarakat desa dari anak-anak hingga para sepuh. Dalam pelaksanaanya, upacara ini juga dimeriahkan dengan berbagai kesenian khas Banyuwangi, seperti tari gandrung, burdah, singo-singoan, dan hadrah kuntulan. Sepanjang perjalanan, dilakukan pembacaan macapat atau tembang Jawa kuno yang merupakan bentuk doa kepada Tuhan dan roh nenek moyang. Seiring menguatnya pengaruh Islam, macapat ini diawali dengan doa dalam bahasa Arab dan pembacaan Al-Fatihah. [ref.indonesiakaya.com]

Tradisi Brahatan Sebelum Bulan Ramadhan

Tradisi Brahatan Sebelum Bulan Ramadhan


Tradisi ini dimaksudkan untuk memperkuat posisinya sebagai penguasa, penjajah Belanda dulu mengembangkan tradisis yang disebut rijsttafel (hidangan serba beras yang disajikan di meja) sebagai simbol kemenonjolan makanan kolonial di Indonesia. Ini merupakan salah satu bentuk negosiasi wajah mereka karena melihat situasi bahwa ntuk bertahan mereka harus melakukan penyesuaian.

Di negara asalanya, konsumsi sehari-hari mereka adalah roti atau bahan lainnya yang terbuat dari gandum. Di Indonesia mereka mendapati realita bahwa orang Indonesia terbiasa mengkonsumsi beras atau bahan lainnya seperti jagung. Dengan kata lain rijsttafel mewakili kelanjutan sejarah interaksi Eropa dengan budaya asli di Indonesia, bahwa masakan yang disajikan kurang lebih berasal dari praktek memasak Indonesia.


Beras sebenarnya dianggap sebagai makanan yang tidak pantas untuk penjajah. Ini karena beras adalah makanan pokok kebanyakn orang Asia. Persoalannya, apa yang mereka makan – roti misalnya – bahan bakunya yakni gandum tidak tersedia melimpah. Karenanya mereka berkompromi dengan beras dengan _rijsttafel_ nya. Mereka makan nasi, namun tetap ingin membedakannya dengan rakyat. Karena itu, diciptakanlah ritual mengkonsumsi nasi ala pesta (Onghokham, 2003).

Di meja disajikan beragam piring  dan bumbu dengan melibatkan beberapa koki dan prosesi pegawai, dan membutuhkan waktu yang lama untuk mengkonsumsinya. Rijsttafel sederhana terdiri dari "hanya" enam piring. Yang versi megah biasanya diadakan di tempat-tempat terkait dengan budaya elit Belanda, seperti kapal uap yang membawa mereka dari Eropa ke Indonesia atau di hotel-hotel besar. Itu juga disajikan di banyak rumah kolonial, sering pada hari Minggu atau di pesta-pesta makan malam.

Tradisi _rijsttafel_ yang diperkenalkan penjajah itu terinspirasi dari tradisi makan bersama yang sering dilakukan oleh orang Indonesia. Gresik misalnya memiliki tradisi makan-makan bersama – selain bersama keluarga – dengan tetangga atau undangan. Biasanya, ini dikaitkan dengan momen-momen keagamaan, dalam hal ini Islam. Bisa jadi ini merupakan salah satu bentuk penentangan atau penyimbang dari yang dilakukan penjajah itu.

Di Desa Doudo (dalam bahasa setempat dilafalkan "Ndhudha"), kecamatan Panceng Kabupaten Gresik, istilah _brokohan_ merujuk kegiatan makan pagi bersama di sawah. Disini makanan biasanya dibawa dari rumah dan yang menyiapkan biasanya isteri-isteri para petani yang dilakukan saat matahari di agak tinggi. Seteah _brokohan_ itu, isteri pulanguntuk menyiapkan makanan lagi untuk siang harinya.

Di  tempat lain, istilah _brokohan_ adalah ritual yang dilakukan sehubungan dengan kelahiran bayi. Kegiatan ini berlangsung ketika bayi dan ibu sudah kembali ke rumah bila sang bayi lahir di luar rumah seperti rumah bersalain atau rumah sakit. Acara ini dimaksudkan dalam rangka penyambutan bayi dan  diikuti oleh ibu-ibu tetangga dipimpin oleh tokoh setempat. Kegiatan yang berlangsung saat _brokohan_ antara lain, membacakan doa untuk kesehatan dan keselamatan bayi.

Selain kegiatan _brokohan_ keluarga meyiapkan makanan untuk dibawa pulang oleh tetangga yang hadir pada saat brokohan. Ruang yang digunakan untuk brokohan menggunakan ruang tamu dan teras menggunakan ruang tengah untuk menyiapkan makanan dan dapur untuk mempersiapkan konsumsi.

Salah satu tradisi di Gresik saat malam _nisfu sya'ban_ (pertengahan bulan sya’ban) adalah acara *Brahatan* atau disebut juga _lailatul baro’ah_ atau _malam kebebasan dari api_. Malam itu dipahami sebagai malam yang penuh pahala dan penghuni bumi diberikan ampunan Ilahiah yang istimewa kecuali yang musyrik dan yang bermusuhan.

Ritual nisfu Sya’ban sebenarnya dilaksanakan sebelum bulan Ramadlan. Akan tetapi pelaksanaannya sangat erat kaitannya dengan bulan Ramadlan. Pada malam itu orang diundang untuk makan setelah melakukan do’a dan kira-kira hari ke-14/15 dari bulan Sya’ban, atau ± 14/15 hari menjelang bulan Ramadlan. Pada malam itu orang tua, muda, kecil – di beberapa daerah laki dan perempuan sementara di daerah lainnya laki-laki saja – kumpul di masjid atau mushallah yang bahasa Gresik-nya dikenal dengan _langgar_.

Ritual dilaksanakan pada malam hari (14 ke 15 Sya’ban) setelah shalat Magrib. Kegiatan yang dilakukan berupa shalat Tashbih26 kemudian dilanjutkan dengan membaca Al-qur’an surah Yasin sebanyak 3  kali berturut-turut. Setiap selesai membaca surah Yasin dibacakan do’a tertentu; yang pertama, do’a agar dikuatkan iman. Yang yang kedua dibacakan  do’a agar dipanjangkan umur, dan yang ketiga, do’a agar dimurahkan rezki.

Setelah itu biasanya disuguhkan jamuan makan atau yang disebut _bupungan_. Disini peserta makan makanan dalam nampan besar dan peserta mengitari nampan itu makan dengan jari tangan. Makanan itu dibawa oleh peserta dari rumah masing atau dari warga yang tidak sempat hadir dan disatukan atau dikumpulkan untuk dibagi-bagi sama rata oleh petugas yang biasanya mereka itu adalah ta’mir (pengurus) masjid.

Di beberapa kampung di Gresik, selain makan bersama tadi, peserta membawa makanan lainnya seperti kue atau pisang serta buah-buahan lainnya atau makanan itu sendiri pulang ke rumah dalam tempat yang terbuat dari daun pisang. Pada keesokan harinya (15 Sya’ban) beberapa warga melaksanakan puasa.

Di Manyar, Gresik, di sepanjang Jalan Kiai Sahlan Manyar menjelang sore hari, warga setempat banyak yang membawa jajanan arau makanan “Riyoyo Brahatan” untuk dibawa ke musholah atau langgar. Makanan yang dibawa biasanya nasi kuning kupat, lepet apem dan jajanan khas lainnya. Jajanan apem diartikan afwan (arab) atau permohonan maaf, sedangkan kupat dan lepet simbol permohonan maaf dan saling memaafkan.

Tradisi ini sebagai simbol ruwatan. Ritualnya, biasanya  setelah shalat maghrib, warga mengaji surat Yasin tiga kali. Bagi warga setempat, tradisi majlis setengah bulan sebelum puasa Ramadhan ini sudah berlangsung secara turun temurun.

Tradisi Gasdeso Sebagai Ungkapan Syukur Masyarakat Blora

Tradisi Gasdeso Sebagai Ungkapan Syukur Masyarakat Blora

Pada bulan Selo dalam kalender Jawa atau satu bulan setelah Syawal dalam kalender Hijriyah merupakan waktu pelaksanaan tradisi gasdeso” atau sedekah bumi di pedesaan yang ada di Kabupaten Blora. Selama satu bulan ini, masing-masing desa menggelar tradisi gasdeso.
Beragam hasil bumi mulai sayuran, buah-buahan hingga sego bumbu (nasi urapan) yang dibungkus daun jati.
Biasanya jelang tengah hari, ancak gunungan dari masing-masing RT dikumpulkan di halaman Kantor Desa dan selanjutnya dikirab menyusuri jalan raya menuju Pasar Desa tempat dilaksanakannya tradisi gasdeso.

Setibanya di halaman Pasar Desa Bogorejo, seluruh ancak gunungan diturunkan di dekat Pohon Bogo yang dipercaya sebagai cikal bakal nama Desa Bogorejo. Disinilah seluruh ancak gunungan yang berisi beragam hasil bumi dan makanan dibagi kepada seluruh masyarakat yang hadir. Tradisi gasdeso ini merupakan agenda tahunan yang diselenggarakan sebagai rasa syukur kepada Sang Pencipta yang telah memberikan kesuburan tanah, rejeki dan kesehatan kepada seluruh warga. Rasa syukur itu diwujudkan dengan sedekah hasil bumi dan makanan yang disusun dalam ancak tadi dan dibagikan di dekat pohon Bogo yang ada di depan Pasar Bogorejo. Selain rasa syukur, tradisi ini juga mencerminkan kerukunan dan gotong royong yang kuat di pedesaan.
Selain kirab ancak gunungan dan iringan Seni Barongan, tradisi gasdeso ini juga dimeriahkan dengan pentas wayang kulit yang juga dihelat di halaman Pasar sebagai pusat ekonomi masyarakat desa.
Pembagian berikut yg dinanti-nantikan oleh beberapa ribu masyarakat. Tidak sekedar masyarakat Desa Bogorejo, masyarakat dari beragam desa kurang lebih ikut serta masuk buat mengambil sisi dalam kebiasaan ini. Gak sabar mendapatkan giliran ambil isi ancak gunungan, masyarakat lantas langsung berebutan bersama-sama.
Kendati rebutan serta berdesak-desakan, tak ada gesekan yg berbuntut pertikaian. Seluruhnya terjadi dengan aman serta sama-sama menghargai.
Desa yg ada di jalan khusus penghubung Jepon-Jatirogo, juga sekaligus pusat pemerintahan Kecamatan Bogorejo ini adalah penghasil bawang merah teratas di Kabupaten Blora. Untuk memperjelas identitasnya jadi penghasil bawang merah, di muka Pasar Bogorejo sejak mulai beberapa puluh tahun yang lalu dibuat Tugu Bawang Merah.

Tradisi Clorotan Untuk Menangkal Petir Bagi Warga Jombang

Tradisi Clorotan Untuk Menangkal Petir Bagi Warga Jombang

Banyak cara dilakukan warga untuk terhindar dari berbagai bencana yang biasa terjadi pada musim penghujan.

Di Jombang Jawa timur ratusan petani sebuah desa menggelar tradisi tahunan clorotan tolak petir untuk mengawali musim tanam. Tradisi tersebut bertujuan untuk menghindarkan warga khususnya petani yang saat pergi ke sawah di musim penghujan agar diberi keselamatan tidak tersambar petir.

Ratusan petani Dusun Banjarsari Desa bareng Kecamatan bareng berduyun-duyun ke lokasi pemakaman desa setempat untuk menggelar tradisi clorotan. Dalam tradisi tahunan ini warga menyiapkan sejumlah jajanan pasar khususnya tiga jenis jajanan yakni kue clorot, brondong dan kue pasung. Sebelum tradisi dimulai warga berziarah dan berdoa di makam para leluhurnya.

Tradisi tersebut dinamakan demikian memiliki makna bahwa clorot berarti kilat petir atau halilintar, brondong bermakna dentuman bertubi-tubi, dan pasung berarti ketika petir menyambar akan busung atau tidak mengenai petani yang bercocok tanam. Sesepuh desa pun mengaku tujuan dilakukannya tradisi clorotan tolak petir ini adalah agar diberi keselamatan. Khususnya warga yang mayoritas bekerja sebagai petani dan bercocok tanam di sawah di musim penghujan kali ini agar terhindar dari sambaran petir.

Pelaksanaan tradisi clorotan ini ditempatkan di makam dusun,  hal ini dilakukan untuk menghormati para leluhur Dusun Banjarsari. Sebab, ditempat inilah sesepuh dusun tersebut dimakamkan.

Tradisi clorotan tolak petir yang digelar ratusan warga banjarsari ini berlangsung sederhana. Usai berdoa bersama warga pun menyantap jajanan clorot yang berarti petir secara beramai-ramai.

Keblak-Keblak Kesenian Jaranan Dari Banyuwangi

Keblak-Keblak Kesenian Jaranan Dari Banyuwangi


Sobat mbudayajawa, Keblak-Keblak adalah salah satu dari beragam kesenian jaranan dari banyuwangi.
Biasanya pertunjukan keblak-keblak yang paling banyak di tunggu oleh para penonton, dimainkannya pun di akhir acara karena merupakan pertunjukan paling meriah.
Setelah "keblak-keblak" terdengar penari "pitik" atau ayam dan "barong" memutari area pertunjukan yang dikelilingi oleh para penonton.
Seketika suasana menjadi lebih seru karena si penari menjadi kerasukan dan tidak jarang penonton pun ikut kerasukan, suasana yang menyeramkan dan meriah pun tercampur jadi satu.




ad2